Pertama kali kita bersua, hati yang masih jahil berbisik,
Mengutuskan kau bukan pilihanku, Kau terlalu membosankan,
Aku memandangmu, dan pandanganku kesasar,
Kulihatmu seorang lelaki muda yang warak',
Kau baik namun kau pasti membosankan.
Kedua kali kita dipertemukan, hati yang mulai mengenal cahaya hidayah ketika itu,
Mulai tertarik pada cara kau membawa diri, menjunjung agamamu di atas kepala walau di negara asing,
Aku memandangmu, ada sesuatu di dalam dirimu yang aku kekurangan,
Kulihatmu seorang lelaki muda yang warak',
Kau pasti seorang yang baik, lebih baik dari ramai orang.
Kali ketiga kita dipertemukan, Disatu majlis ilmu hatiku ketika itu semakin mengenal Rabb.
Aku kagum bila diperlihatkan banyaknya ilmu agama yang kau ketahui, semangatmu yang bekobar,
Hatiku tersentuh, tak ramai lelaki muda sepertimu,
Kulihatmu kini bukan sekadar seorang yang warak', kau seorang lelaki idaman,
Sungguh kau pasti yang terbaik diantara yang terbaik,
Dalam diam malam aku berdoa, semoga kita dipertemukan lagi,
Semoga Allah menjodohkan kita, Kerana aku mungkin takkan ketemu lelaki sebaikmu lagi,
Dan mungkin tak ramai yang mengerti, erti mencintai kerana Allah,
Aku mencari yang benar mengerti, dan yang ingin menuju syurgawi,
Kerana kau seorang lelaki yang warak', ciri itu yang aku cari sebagai seorang pendamping hidup.
Friday, August 29, 2014
Thursday, August 21, 2014
'If you feel no shame, then do as you wish'
Abu Mas'ud 'Uqbah bin 'Amr al-Ansari al-Badri, radiyallahu 'anhu, reported that the Messenger of Allah, sallallahu 'alayhi wasallam, said: "Among the things that people have found from the words of the previous prophets was: 'If you feel no shame, then do as you wish." [Al-Bukhari]
Haya' can be translated as: modesty, shame, shyness or bashfulness, as pointed by Ustaz Jamaludin Zarabozo.
The word haya' is derived from the word "al-hayah", which means life, as if the person who has no haya' (modesty) is like a dead person.
Islam encourages and treasures al-haya' or modesty. It is one of the most important characteristics that each and every Muslim should acquire and posses.
Possible interpretations of the text
Due to the form of the text, it may be interpreted in many possible meaningful ways. Imam Ibnu Rajab pointed out two interpretations of the text according to early scholars:
First interpretation:
If you have no modesty, then do whatever you wish and Allah will punish you for what you do. This mode of expression is well known in the Arabic language, and it is used for threatening someone. This mode is used by the Qur'an in Surah Fussilat: ayat 40.
Second interpretation:
If you are contemplating an act and it is an act such that there is no reason to be ashamed of doing it before Allah or the people, then you may do that act. Modesty is used as a criterion over whether or not to do a certain act. The command here is in the form of displaying permission.
However, there is a valid third interpretation given by Ibnu al-Qayyam who is a scholar from the eighth Hijrah century. He is in the view that the command is not what is meant by this statement. Instead, it is a statement of fact. The meaning is: If a person does not have any modesty, then there is nothing to prevent him/her from doing anything.
Haya' is one of the most important factors that keeps a person from committing a sinful act. If a person has no haya', he/she will do almost anything.
Lessons
There are two aspects of haya' : Natural haya' and acquired haya'. The later is attained as a result of knowing and realizing the Glory of Allah and His attributes. There are many manifestations of haya' as mentioned by Ustaz Jamaludin Zarabozo in his commentaries on the Forty Hadith:
- Having haya' towards Allah - a Muslim should feel ashamed to have Allah see him doing - or hear him saying - something that displeases Allah, especially when that Muslim is alone and out of the view of humankind.
- Haya' towards the angels - as they are noble and dignified creatures who witness the acts performed by humans.
- Haya' towards other humans - an essential characteristic that keeps people from harming one another and from performing indecent acts.
- Haya' towards the person him/herself - a person should be ashamed of him/herself when he/she performs acts that are shameful.
- If he/she notices that his/her haya' level is low he/she should improve it by remembrance of Allah, getting closer to Him, and fearing Him.
Haya' can sometimes be abused as a justification for not doing something or giving up an obligatory act. For example, being silent or passive in the presence of falsehood or oppression for no reason except claiming haya'. Or using haya' as an excuse for not encouraging good or discouraging evil. Unless, for both of the above mentioned cases, there is another good reason for not doing these acts such as considering the most likely expected harmful consequences.
Another example of abusing haya' is to use it as an excuse for not seeking knowledge. In many Muslim cultures this matter is confused and misunderstood where there is a proverb or cliché that says: "There is no modesty in asking questions in religious matters". But this cliché is only practiced in a few certain sensitive issues. However when it comes to seeking knowledge in a classroom, the situation is different. Most Muslims become shy and use modesty as an excuse. Parents at home, teachers at school, even lecturers at Universities add to the problem where they may treat asking questions as a sign of not being modest. This attitude needs to be changed to the right, positive one.
Another example is using haya' as an excuse for not doing what is correct and allowed. You know that something should be done and it is good and allowed or is even a recommended or obligatory act. However, you simply give up and do not do it because of a claimed haya'. Not giving sadaqah (charity) to a needy in front of others, not taking away a harmful material from the street or the path of the Muslims, or not helping or giving a hand to a disabled or an elderly person to cross the street are some good examples of this phenomenon.
Conclusions
Haya' or modesty is a great Islamic concept that leads to goodness and keeps a Muslim away from doing a bad or indecent act when its level is maximized. Treating bad actions, as shown by revelation, as evil acts and feeling ashamed of Allah to do it and ashamed of the community, are ways of acquiring haya'. Iman and haya' are linked. When there is iman, there is haya', and vice versa. All of us are borne with natural haya'. However it is subject to be spoiled due to environment and dominating ideologies. Technology misuse has its negative and destructive impact on haya'. Muslims need to be aware of such challenges and exert their effort to overcome them. Haya' cannot be used as an excuse for not doing good deeds and acts.
Source: http://fortyhadith.iium.edu.my/hadith20.htm
Saturday, August 16, 2014
Adakah Si Kaya Ini Gila Atau Kita Yang Mabuk?
Are you mad? Itu yang dikatakan oleh akauntan jutawan Brian Burnie, apabila majikannya menyatakan hasrat untuk menderma hotel mewahnya bernilai sekitar GBP 20 juta.
Seorang jutawan Britain yang mendermakan hotel mewahnya, hotel yang asalnya sebuah rumah besar lama berusia beratus tahun, diubahsuai dengan kos sebanyak GBP 16 juta. Pada asalnya dia ingin menggunakan seluruh keuntungan dari hotel mewah itu untuk tujuan kebajikan, namun ditukar ideanya. Kini dengan rasminya hotel mewah itu akan dijual dan seluruh hasilnya akan didermakan kepada persatuan kanser. Kos jualannya sudah tentu melebihi GBP 20 juta (RM 110 juta).
Berikut tiga kata-kata beliau yang menarik hati saya :
"While owning property and making money is important, it is not as important as people."
"The biggest thing with most people is money, but with me it is not. I want to give it up and do something more for others."
"We can all do something by leaving money to charity when we die, but why don't we do something while we are still living?''
Apa yang disebut pertama tadi bertepatan dengan tanggungjawab sosial dalam Islam. Malah di dalam Islam pembangunan jatidiri individu rakyat sememangnya jauh lebih penting dari pembangunan material seperti bangunan pencakar langit dan lainnya.
Yang kedua pula bertepatan dengan ajaran Islam agar tidak bersikap pentingkan diri dan sentiasa memikirkan manfaat yang diperolehi untuk dikongsi dengan orang ramai, dan yang ketiga pula bertepatan dengan sabdaan Nabi :-
Ertinya : "Dan janganlah kamu bertangguh-tangguh (dalam bersedeqah) sehingga sampainya (nyawamu) di kerongkong (hampir mati)" (Riwayat Al-Bukhari, no 1353)
Jutawan Dan Hartawan Muslim
Bagi jutawan Muslim, Islam menganjurkan pendekatan yang sedikit berbeza, banyak pula yang sama. Yang paling berbeza adalah keperluan jutawan Muslim untuk menyembunyikan sumbangan dan sedeqahnya. Allah swt berfirman :
Ertinya : "Dan sekiranya kamu menyembunyikannya (sedeqahmu) dan memberikannya kepada faqir miskin, demikian adalah LEBIH baik bagimu"
Nabi s.a.w bersabda ertinya : "Sedeqah yang dilakukan secara sembunyi memadamkan kemurkaan Allah swt."
Memang benar, jutawan Muslim yang bersifat dermawan memang ramai, banyak juga sumbangan yang telah dihulurkan kepada pelbagai pihak sama ada secara senyap atau terbuka. Tan Sri Mokhtar Al-Bukhari adalah satu ikon utama yang pasti terlintas di minda kita apabila sahaja membuka cerita sebegini. Saya secara peribadi juga mengenali beberapa individu dermawan seperti Dato Hj Rameli Musa, Pengasas Ingress Corporation Berhad, dan ramai lagi.
Namun demikian, jumlah golongan ini masih belum cukup besar, masih ramai lagi hartawan dan jutawan Muslim yang masih belum dan terlalu berkira-kira untuk menyumbang, kita sewajarnya lebih laju dari hartawan bukan Islam yang saya sebutkan di atas.
Kita sewajarnya lebih sedar bahawa menyumbang sama ada melalui zakat yang wajib atau sedeqah yang sunat akan menambah berkat dan rezeki dari Allah swt. Menambah rezeki yang bersifat spiritual. Sabda Nabi s.a.w :-
Ertinya : "Tiadalah harta itu berkurang disebabkan oleh sedeqah" ( riwayat Muslim)
Kini, sudah ramai yang merasakan kesan sumbangan yang dikeluarkan adalah pertambahan, bukan kurang. Malah ia turut dirasa oleh hartawan bukan Islam seperti Bill Gates, beliau pernah menyebutkan hal ini dalam satu majalah antarabangsa satu ketika dahulu (namun saya gagal mencari keratannya).
Para Ribuan, Jangan Beralasan
Jika mereka sudah merasakan nikmah kebahagiaan hasil pemberian itu, bilakah kita pula?. Jangan ditunggu kita bergelar jutawan atau billionaire untuk bertindak, mulakan dari sekarang secara kecil-kecilan sesuai dengan kemampuan kita. Walau adakalanya kita tidak layak untuk membayar zakat wajib harta atau pendapatan kerana beban kewangan yang lebih besar dari pendapatan, namun jangan sekali menjadikannya sebagai alasan untuk tidak menderma dan menyumbang. Moga dengan sumbangan kecil dan ikhlas itu, mampu menjadi pembersih harta kita dan penyuburnya.
Juga ingatlah, derma dari seorang yang sikit harta lebih besar ganjarannya dari derma individu yang besar hartanya. Sebuah hadis menyebut :-
Ertinya ; "Sedeqah yang paling utama adalah menggembirakan fakir dan dikelaurkan dala keadaan sedikit harta" ( Riwayat Ahmad 5/178 ; Tafsir Ibn Kathir, 1/701)
Ikhlaskan niat dan jangan pula ‘kotor mulut' mencela apabila sedeqah yang diberi kelihatan tidak menambah keuntungan duniawi dalam jangka masa yang segera. Saya bimbang, ada yang menderma dengan niat yang satu, iaitu untuk mengharapkan untung berganda setelah dimotivasikan oleh para ustaz bahawa bersedeqah boleh menambah keuntungan, lalu apabila tiada pertambahan lalu dicelanya hadis, dicelanya ustaz, disesalinya sedeqah yang pernah di lakukan dahulu sebagai silap dan salah. Ingatlah firman Allah swt :-
Ertinya : "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati " (Al-Baqarah : 262)
Lihat dan fahamilah dalam-dalam erti yang tersurat pada ayat ini, setiap pemberian sedeqah mestilah diriingi oleh rasa puas, gembira, tiada khuatir, tiada sedih dan sesal.
Bukankah pakar-pakar motivasi sedunia malah doktor menyatakan, antara faktor yang boleh memberikan kesihatan tubuh, awet muda dan fikiran terfokus adalah KURANG STRESS dan hati yang gembira. Bergembiralah wahai penderma, gembira memberi dan menyumbang sama ada ilmu, harta, masa dan tenaga dengan rela dan redha. Nesacaya kita akan lebih tenang dan tersenyum, prestasi boleh meningkat, idea boleh bercambah.
Bukankah Allah swt yang menggerakkan hati-hati dan minda manusia lain sama ada untuk memberi kita kontrak dan tender, mengambil kita bekerja, menaikkan pangkat, melantik kita untuk jawatan itu dan ini, memberi kepercayaan utnuk tugasan baru yang lumayan dan lain-lain. Lalu yakinilah dan bersangka baiklah dengan Allah swt, nescaya Allah akan menunaikan sangkaan baik kita.
Kesimpulan
Terlalu ramai orang yang sentiasa sibuk memikir cara untuk MENDAPATKAN wang dan harta untuk dirinya, ye, MENCARI WANG, MENAMBAH WANG, MENGUMPUL WANG. Siang, malam pagi dan petang berhempas pulas minda dan tenaga mencari jalan. Sehingga ingin sahaja dilanggar semua jalan yang berpotensi, walau ia haram atau syubhat. Yang penting dalam mindanya, adalah poketnya semakin tebal. Sedangkan seluruh penghumpulan itu sekadar di dunia yang pendek ini.
Malangnya, sangat kurang yang berhempas pulas memikirkan bagaimana untuk MENYUMBANG WANG, MEMBERI WANG, SEDEQAH WANG. Bukankah memberi ini demi kehiduapan selepas kematian yang terlalu amat panjang masanya. Mulakan berfikir untuknya, sebenarnya untuk kita juga.
Brian Burnie, jika seorang jutawan bukan Islam warga Britain boleh berkata dan bertindak berdasarkan kata-katanya ini:
"We live in a "me, me, me" society and it has always been important to me to think of others"
Lalu apa lagi alasan kita, bersedeqahlah sebelum sampai nyawa di kerongkong... Adakah si kaya ini gila kerana mendermakan wang yang begitu banyak? Atau kita yang mabuk dengan pencarian wang secara petingkan diri tanpa sebarang pemberian?
Artikel asal oleh: Dr. Zaharuddin Abd Rahman (www.zaharuddin.net)
Wednesday, August 6, 2014
Fasting Six Days of Shawwal after Ramadan: 'Like Fasting the Entire Year'
1. Based on this, the majority of the fuqaha', including the Hanafi, Shafi`i, and Hanbali school, have held that it is recommended to fast six days of the month of Shawwal
2. It is permitted to fast these six days separately throughout the month, or consecutively, after Eid al-Fitr.
3. It is prohibitively disliked (makruh tahriman) and sinful to fast on 'Eid day (1st Syawal) itself.
4. The Shafi`is and Hanbalis state that it is superior to make the six fasts consecutive.
Khatib al-Shirbini explains the reasoning as being, “In order to hasten to do the good, and because of the problems inevitable in delaying,” such as becoming lazy and not actually fulfilling this sunna in the end, though he points out that the sunna is fulfilled by both consecutive and non-consecutive fasting of six days in Shawwal.
The later Hanafi scholars differed as to which is better, fasting the six days consecutively or non-consecutively, though neither is disliked and both fulfill the sunna. However, it would be agreed that those who fear not fulfilling the recommendation due to laziness, forgetfulness or other excuses, should hasten to fast the six days consecutively immediately after Eid al-Fitr.
5. The reward is akin to having fasted obligatory fasts the entire year days, according to Buhuti, Shirbini, and others.
Abu Hurayra (Allah be pleased with him) said that the Prophet (Allah bless him & give him peace) said,
“The strong believer is better and more beloved to Allah than the weak believer, though there is good in both. Be avid for that which benefits you. Rely on Allah and do not deem yourself incapable…” [Muslim 4816, Ibn Majah 76, Ahmad 8436]
Imam Nawawi (Allah have mercy on him) explained that the ‘strength’ in this hadith refers to, “One’s determination and ability in matters of the next life.”
And Allah alone gives success.
Source: Qibla.com
Subscribe to:
Posts (Atom)